Selasa, 21 Januari 2014

BUMI DAN LANGIT


 
Sungguh sangat kontras melihat tayangan sore ini di Trans TV dan Trans 7.. Trans TV mengangkat kisah Angelina Sondakh alias Angie dalam program Inside. Sedangkan acara di Trans 7 di jam yang sama adalah Orang Pinggiran. Angie yang tengah tersangkut perkara suap, bahkan sudah berstatus tersangka, masih tetap menjalani kehidupan dengan senyum, dandanan oke dan wangi.. Hari ini media online memberitakan ‘kesibukan anggota Fraksi Partai Demokrat itu yang cuma ‘bekerja’ sekitar setengah jam nongol di Gedung DPR. Kabarnya, anaknya sedang sakit, sehingga harus segera menjemput si buah hati di sekolah. ”Maaf ya, anak saya kata kepala sekolahnya nangis terus karena sakit. Di telepon, anak saya nangis terus. Saya mau jemput,” kata Angie saat meninggalkan Gedung KK-2 DPR, Jakarta, Jumat (2/3) seperti dikutip Liputan6.com.

Coba simak perjuangan Eti, sang tokoh dalam Orang Pinggiran yang warga sebuah desa di Tasikmalaya. Eti, 45 tahun, harus bekerja ekstra keras menghidupi kedua anaknya, dan suaminya Oco, yang tuna netra. Kehidupan sehari-hari dijalani Eti dengan mencari kayu bakar, mencari bambu buat bahan membuat besek atawa pipiti (bahasa Sunda), serta menjadi buruh panggul saat ada tetangga membutuhkan tenaganya. Eti memotong-motong sendiri bambu disesuaikan dengan ukuran pipiti yang akan dibuatnya.

Bambu yang sudah dipotong-potong itu kemudian dibelah oleh Oco, sang suami yang buta karena penyakit yang entah apa namanya. Sebelum gelap total, Oco mengeluh penglihatannya tampak kuning, yang lama-lama berubah menjadi gelap, dan gelap. Oco pun tak bisa melihat lagi. Namun, tanpa penglihatan normal, bukan menjadikan Oco menyerah. Ia mampu membelah bambu, hingga tipis, sebagai bahan anyaman membuat besek. Sungguh perjuangan berat. Ia sebagai kepala rumah tangga, sangat sedih mengharuskan istrinya bekerja keras. Sementara ia hanya bisa membantu membuat besek. Ia selalu ingin menangis. Namun ia tabah dan selalu bersyukur atas karunia Tuhan yang diberikan kepada keluarganya.

Selain membuat besek, Eti juga menjadi buruh panggul saat tetangga butuh tenaganya. Yg rutin adalah membawa sekarung gabah menuju tempat penggilingan gabah, kemudian menyerahkan kembali beras ke sang pemilik. Ia harus berjalan lebh dari 1 km memanggul 50an kg gabah menuju selepan. Upahnya ‘hanya’ sekilo beras, plus sisa uang ongkos menggilingkan gabah. Sore itu ia mendapat Rp 2.500 plus sekilo beras.

Dari hasil jualan pipiti ukuran kecil itu, Eti dan Oco ‘hanya’ mendapat Rp 25.000 untuk 100 besek yang diselesaikan dalam sepekan. Sungguh saya tak bisa membayangkan bagaimana matematikanya mencukupi kebutuhan keluarga, setidaknya makan buat empat orang. Anak Eti yang tinggal di rumah ada dua, Maryati dan adiknya yang masih sekolah di SD. Maryati, 14 tahun, putus sekolah. Ia sehari-hari membantu mencari rezeki dengan menjadi tenaga soldir, melubangi kain bordiran khas Tasikmalaya. Dari hasil melubangi selembar kain bordiran itu Maryati mendapat upah Rp 1.000. Dengan penghasilan mereka itu, sehari-hari Eti dan keluarganya hanya makan nasi dan garam.

Sungguh saya tidak juga tdk bisa membayangkan, ketika media menyebut Angie biasa menghabiskan uang hampir Rp 1 miliar, yang konon untuk belanja dalam sebulan.Beli apaan ya? Sementara Eti dan keluarganya mencukupi kehidupan mereka dalam sebulan mungkin hanya dengan dua lembar seratus ribu rupiah. Sungguh saya tak mengerti ketika seorang anggota DPR mengatakan mobil seharga Rp 1 miliar bukan barang mewah. Apa mereka tak pernah mengunjungi kehidupan rakyat yang diwakilinya?

Semoga Eti dan keluarganya tak selamanya hidup dalam kekurangan. Sehingga lagu sendu itu tak harus mengalun bagi orang2 pinggiran seperti Eti dan keluarganya, sementara anggota dewan banyak yang selalu berdendang dengan uang bergelimang, lupa pada rakyat yang diwakilinya…


Deden Rojudin,DKI Jakarta Indonesia